UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang
menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan
pada Pasal 17 Ayat (3) menyebutkan bahwa pendidikan dasar, termasuk Sekolah
Menengah Pertama (SMP) bertujuan membangun landasan bagi berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang (a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa; (b) berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; (b) berilmu,
cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; (c) sehat, mandiri, dan percaya diri; (d)
toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggungjawab. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa tujuan pendidikan di setiap jenjang,
termasuk SMP sangat
berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik.
Pendidikan
karakter tidak saja merupakan tuntutan undang-undang dan peraturan pemerintah,
tetapi juga oleh agama. Setiap Agama mengajarkan karakter atau akhlak pada pemeluknya.
Dalam Islam, akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajarannya yang
memiliki kedudukan yang sangat penting, di samping dua kerangka dasar lainnya, yaitu
aqidah dan syariah. Nabi Muhammad Saw dalam salah satu sabdanya mengisyaratkan
bahwa kehadirannya di muka bumi ini membawa misi pokok untuk menyempurnakan
akhlak manusia yang mulia. Akhlak karimah merupakan sistem perilaku yang
diwajibkan dalam agama Islam melalui nash al-Quran dan Hadis.
Sifat-sifat
khusus (akhlak) yang dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw maupun para nabi dan rasul
yang lain adalah: (1) Shiddiq, yang berarti jujur. Nabi dan rasul selalu
jujur dalam perkataan dan perilakunya; (2) Amanah, yang berarti dapat
dipercaya dalam kata dan perbuatannya; (3) Tabligh, yang berarti
menyampaikan apa saja yang diterimanya dari Allah (wahyu) kepada umat manusia;
(4) Fathanah, yang berarti cerdas atau pandai, sehingga dapat mengatasi
semua permasalahan yang dihadapinya; (5) Ma’shum, yang berarti tidak
pernah berbuat dosa atau maksiat kepada Allah. Sebagai manusia bisa saja nabi
berbuat salah dan lupa, namun lupa dan kesalahannya selalu mendapat teguran
dari Allah sehingga akhirnya dapat berjalan sesuai dengan kehendak Allah.
Agama Hindu juga memandang penanaman
karakter kepada anak sangat penting. Kitab suci Veda menyatakan: “Saudara
laki-laki seharusnya tidak irihati terhadap kakak dan adik-adiknya laki-laki
dan perempuan, dan melakukan tugas-tugas yang sama yang dibebankan kepadanya.
Hendaknya berbicara mesra di antara mereka” (Atharvaveda: III,30.3). “Putra dan
orang tuanya yang saleh, gagah berani dan bercahaya bagaikan api menyinari bumi
dengan perbuatan-perbuatannya yang mulia” (Rgveda I.160.3).
Ajaran suci Veda dan susastra Hindu
lainnya memandang anak atau putra sebagai pusat perhatian dan kegiatan yang
berkaitan dengan pendidikan. Dalam hal ini, umat Hindu meyakini bahwa
karakter seorang anak sangat pula ditentukan oleh kedua orang tuanya,
lingkungannya dan upacara-upacara yang berkaitan dengan proses kelahiran
seorang anak. Ketika seorang anak lahir, maka karakter seseorang dapat dilihat
pada hari kelahirannya yang disebut Daúavara (hari yang sepuluh), yaitu:
“pandita, pati, sukha, duhkha, úrì, manuh, mànuûa, ràja, deva, dan rakûaûa”.
Demikian pula pemberian nama kepada seorang anak dikaitkan pula dengan karakter
anak sesuai hari Daúavara-nya.
Agama
Kristen dan Katholik memandang penting karakter seseorang. Seperti terlihat
pada 2 Tesalonika 3 : 6 – 12. Alkitab memberi contoh berbagai macam profesi
seperti: Abraham sebagai pengusaha, Yusuf sebagai kepala pelayanan &
perdana mentri, Samuel sebagai hakim, Daud sebagai gembala & raja, Petrus sebagai
nelayan, Lidia sebagai pedagang, Paulus dan Akhila sebagai tukang tenda, Lukas
sebagai dokter, Yesus sebagai tukang kayu.
Ketika
seorang bekerja berarti dia membentuk tanggungjawab atas dirinya sendiri. Rasul
Paulus bekerja sebagai seorang tukang tenda untuk memenuhi tanggungjawabnya
terhadap dirinya sendiri, Tuhan dan jemaat. Jika malas bekerja kita harus
belajar dari semut yang bertanggungjawab kepada koloninya. Kita juga bisa
belajar dari seekor burung yang sepanjang hari mencari nafkah untuk anak-anaknya
di sarang (Amsal 6 : 6).
Tempat kerja adalah wadah yang cocok bagi kita untuk melatih kejujuran. Jujur berarti melakukan semuanya sebagaimana seharusnya.
Tempat kerja adalah wadah yang cocok bagi kita untuk melatih kejujuran. Jujur berarti melakukan semuanya sebagaimana seharusnya.
Agama Buddha juga sangat menekankan
pentingnya karakter. Seseorang hendaknya tidak berbuat jahat, menambah
kebaikan-kebaikan, menyucikan hati dan pikiran (Dhammapada: 183). Kebencian
tak akan berakhir jika dibalas dengan kebencian. Kebencian berakhir jika
dibalas dengan cinta kasih (Dhammapada:
183). Sopan santun wajib diterapkan kepada orang tua, guru, keluarga,
sahabat dan kawan-kawan, atasan atau majikan, dan pelayan/pekerja (Sutta Pitaka, Digha Nikaya 31).
Terdapat dua dharma sebagai pelindung dunia (lokapala-dhamma),
yakni Hiri dan Ottappa. Hiri adalah malu berbuat jahat dan Ottappa adalah takut akibat berbuat jahat. Jika setiap manusia di
dunia ini dapat mengamalkan dua ajaran ini, maka dunia akan damai (Anguttara Nikaya I:51). Empat sifat
luhur, yakni cinta kasih (metta), belas
kasih (karuna), simpati (mudita), dan
batin seimbang (upekkha). Digha Nikaya II
(196), III (220). Dhammasangani (262), Visudhimagga (320).
Hasil
penelitian di Harvard University Amerika Serikat (dalam Ali Ibrahim
Akbar, 2000)
menunjukkan bahwa, kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard
skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan ditentukan hanya sekitar 20
persen oleh hard skill dan sisanya 80
persen oleh soft skill. Bahkan
orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung
kemampuan soft skill daripada hard skill. Soft skill merupakan bagian keterampilan dari seseorang yang lebih bersifat pada kehalusan atau sensitivitas perasaan seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya. Mengingat soft skill lebih mengarah kepada keterampilan psikologis maka dampak yang diakibatkan lebih tidak kasat mata
namun tetap bisa dirasakan. Akibat yang bisa dirasakan adalah perilaku sopan,
disiplin, keteguhan hati, kemampuan kerja sama, membantu orang lain dan
lainnya.
Soft skill sangat berkaitan dengan karakter seseorang.
Menyadari
pentingnya karakter, dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas
dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal.
Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni
meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan
berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan
di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan.
Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan
generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas
dan kualitas pendidikan karakter.
Agar peserta didik memiliki karakter mulia sesuai
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat, maka
perlu dilakukan pendidikan karakter secara memadai.
Tujuan pendidikan di SMP, termasuk pengembangan karakter, semestinya dapat dicapai melalui
pengembangan dan implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengacu
pada standar nasional pendidikan (SNP). Di dalam SNP
telah secara jelas dijabarkan standar kompetensi lulusan dan materi yang harus
disampaikan kepada peserta didik. Karakter juga termasuk
dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Yang menjadi masalah
adalah bahwa selama ini pengembangan dan implementasi KTSP masih cenderung
terpusat pada pengembangan kemampuan intelektual.
Pada
dasarnya telah dilakukan sejak lama, antara lain melalui integrasi IMTAQ ke
dalam pembelajaran, Pendidikan Budi Pekerti, P4 (Pedoman Penghayatan, dan
Pengamalan Pancasila) dan program-program lainnya. Namun demikian pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan
pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum secara optimal pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,
Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan
operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan
jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter
dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut
dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual
and emotional development), Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik
(Physical and kinestetic
development), Olah Rasa dan Karsa (Affective
and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan
karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa
peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara
afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan
dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih
operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.
Pendidikan karakter pada dasarnya dapat
diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi
pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata
pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak
hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan
pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan pembinaan kesiswaan yang
selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial
untuk pendidikan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan pembinaan kesiswaan merupakan kegiatan
pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik
sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan
minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik
dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah.
Melalui kegiatan pembinaan kesiswaan diharapkan dapat mengembangkan kemampuan
dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau
pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan
karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan
pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain
meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran,
penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya.
Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif
dalam pendidikan karakter di sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar